Sejuta Wajah di Pasar Tradisional
Mengapa sejuta wajah? Karena sesudah memeriksa hasil berburu, ternyata memotret wajah pembeli serta penjual di pasar tradisional sungguh menarik. Lebih menarik dibandingkan produk yang merupakan objek transaksi. Banyak kaum pria disana. Sementara umumnya kita menganggap pasar tradisional pastilah diisi kaum hawa.
Mengapa
ya? Saya mengambil kesimpulan ala saya 😀😀 , yaitu:
- Hari telah siang sehingga penjual laki-laki mengganti tugas istri/ibunya
- Pedagang yang saya bidik, awalnya adalah PKL yang berjualan di trotoar, mereka umumnya laki-laki sehingga bisa berlari kencang jika satpol PP datang. Mereka pindah ke dalam pasar karena kawasan trotoar sekarang dibersihkan satpol PP. Diganti peranannya oleh pot-pot besar berisi tanaman yang menghalangi mobilitas pejalan kaki dan penyandang difabel. Lagi-lagi survey ala saya.😀😀
Yang jelas ini bukan masalah kesetaraan jender. Bukankah perempuanpun banyak
menggeluti profesi satpam, supir angkutan umum bahkan supir bis kota?
Tapi apapun itu, saya jadi melihat satu topik bagus yaitu keunikan pasar tradisional sebagai ajang pertemuan pembeli dan penjual. Perhatikan pemuda gaul yang asyik mendengarkan lagu sambil menunggu jualannya. Seingat saya penjual tahu di kios ini adalah seorang perempuan agak sepuh. Mungkin remaja laki-laki ini mengganti posisi ibunya, karena hari sudah beranjak siang bahkan hampir waktu Ashar.
Penjual area buah-buahan, kelapa parut dan ubi, entah kenapa umumnya pria. Mungkinkah karena harus mengangkat barang dagangan yang cukup berat? Bukankah kaum perempuan juga terbukti mampu mengangkat barang berat. Jadi ya siapapun bisa menjadi penjual disini, kebetulan saja yang saya temui adalah kaum pria.
Pasar tradisional memang menyenangkan. Kebetulan sekarang saya selalu mampir di waktu siang. Sekalian pulang kerumah, saya memilih membeli buah-buahan. Sekalian pula memotret dengan cahaya seadanya. Pasar tradisional kan umumnya gelap, tanpa jeda antar penjual.
Beruntung,
saya pernah membaca kiat-kiat Raul Renanda, fotografer yang menekuni
urbanography. Begini salah satu kiatnya:
"Jangan pernah mencari-cari cerita. Kalau tempat itu menarik, sudah ada cerita di situ dengan sendirinya, bukan dicari-cari,"
Lha
kebetulan dong, saya memotret ibu sepuh yang sedang asyik belanja sendirian di
siang hari. Mungkin karena seperti saya, dia tidak perlu membeli sayur. Hanya
mampir ke pasar tradisional untuk membeli buah-buahan segar yang murah
harganya. Dibanding harga di pasar swalayan, huuuuu… kita bisa menghemat
puluhan ribu rupiah.
Kemudian ada lagi kiat Raul Renanda:
“Kualitas foto seperti ketajaman, fokus atau blur bukan tujuan utama. Menangkap momen adalah yang terpenting. 50 persen perhatian harus tertuju pada subjek, selebihnya lupakan saja.
"Cukup bermain pada 3 elemen utama, foreground, main subjek, dan background. Itu saja," papar Raul.
Karena
itu walau ponsel sudah memberitahu bahwa kekuatan lampu baterei sudah hampir
habis, saya nekad motret dengan risiko agak ngeblur. Hasilnya? Diedit sana sini
dengan aplikasi gratisan , jadi deh ……
Tidak
sempurna. Foto diatas tidak bisa saya crop penuh karena framming buah petai
akan terpotong. Sedangkan foto dibawah terpaksa saya crop habis karena hasil
candid terhalang dinding pasar.
Kemudian,
ada yang saya banget:
Jangan pikirkan pandangan orang sekitar saat kita memotret. Biarkan apa yang mereka ekpresikan, senang, sebel, kesal atau marah sesaat. Kalau perlu minta izin, lakukan. Hormati lingkungan dan orang yang akan kita foto. Tetaplah tersenyum dan tunjukan effort bahwa kita orang baik.
"Ibarat kata kalau mau motret ke pasar, cukup beli jengkol satu kantong kresek. Kita tenteng, kita memotret juga nggak akan dicurigai," saran Raul.
Sedangkan foto jengkol dan penjualnya ini:
Usai difoto, dia mau mengulang pose yang macho. Tapi ketika saya persilakan, dia malah menolak. Kebetulan flash tidak bisa digunakan. Baterei ponsel menunjukkan angka satu digit. Wahhh ...... Perjalanan memotret pasar tradisional memang mengasyikkan. Saya perlu belanja buah, sekalian deh motret, sekalian juga ngobrol ngalor ngidul dengan penjualnya dan pulang membawa oleh-oleh foto yang diinginkan. Memotret objek diam-diampun berhasil, asalkan mereka menyetujui sesudahnya. Karena terkadang mereka keberatan dan kita harus menghargai hal tersebut. Setuju?
Sumber : inet.detik.com
Mengapa sejuta wajah?
Karena sesudah memeriksa hasil berburu, ternyata memotret wajah pembeli
serta penjual di pasar tradisional sungguh menarik. Lebih menarik
dibandingkan produk yang merupakan objek transaksi. Banyak kaum pria
disana. Sementara stereotype pasar tradisional pastilah diisi kaum hawa.
Mengapa ya? Saya mengambil kesimpulan ala saya :D , yaitu:
Hari telah siang sehingga penjual laki-laki mengganti tugas
istri/ibunya
Pedagang yang saya bidik, awalnya adalah PKL yang berjualan di
trotoar, mereka umumnya laki-laki sehingga bisa berlari kencang jika
satpol PP datang. Mereka pindah ke dalam pasar karena kawasan trotoar
sekarang dibersihkan satpol PP. Diganti peranannya oleh pot-pot besar
berisi tanaman yang menghalangi mobilitas pejalan kaki dan penyandang
difabel. Lagi-lagi survey ala saya. .. :D
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/gawirawian/kampretjebul4-sejuta-wajah-di-pasar-tradisional_55310f4e6ea83458578b4573
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/gawirawian/kampretjebul4-sejuta-wajah-di-pasar-tradisional_55310f4e6ea83458578b4573
Aaakkk, street photography selalu menyenangkaannn ya Ambu.
ReplyDeletesaya sering sih blusukan ke psr tradisional, tapi kok ya ngga terpikirkan buat meng-capture momen.
kapan2 deh mau cobaaa :D
Ternyata seru juga yaa motret sambil belanja. Saya nggak kepikiran. Tapi benernya pengen banget lain kali bisa gini kalau pas gak digondelin anak koala 😂
ReplyDeleteMenangkap momen memang penting banget ketika ke pasar tradisional. Saya pun pernah melakukannya Ambu, ke pasar tradisional dan coba foto2in orang2 di sana, menangkap momen yang bercerita. Siapa tahu ada yang menarik.
ReplyDeletePasar dengan pernak pernik ala tradisional menunjukkan beragam aktifitas dan keberadaan infra pasar dibandingkan modern.
ReplyDeleteAda ungkapan, fotografi merupakan seni mengolah cahaya.
ReplyDeleteMemotret dengan smartphone sering kali dianggap remeh. Pasalnya, sebuah smartphone diklaim tak memiliki kamera yang mumpuni. Dulu pernah nonton Youtube om Darwis Triadi memotret bersama Deddy Corbuzier di pasar.
Kenapa pasar? Ya karena di pasar memang benar tersimpan sejuta wajah. Om Darwis mengutamakan pengambilan gambar menggunakan fitur seperti zoom, expert, ataupun filter black and white. Hasilnya? Hmmm..... u know him laaah
Di pasar tempat segala ada termasuk lokasi hunting foto ya. Hahaha
ReplyDeleteMengangkat seni fotografi yg menambah wawasan saya Bu. Kadang foto sambil iseng itu nilainya terasa lebih dibandingkan dengan foto sengaja ya
Salah satu etika street photography adalah menjaga privacy orang yang difoto. Aku gak paham banget detail etikanya, tapi yang selama ini aku lakukan adalah dengan 2 cara. Pertama, minta ijin dulu. Kedua, bila tidak memungkinkan minta ijin, aku ambil angle tertentu di mana wajah objek/orang yang hendak kita foto tidak terlalu nampak, misal dari samping, atas, belakang. Kalaupun dari depan, aku cari sesuatu, tarok depan lensa, diatur sedimikian rupa supaya wajah orang tersebut tidak terlalu jelas. Ada tekniknya untuk hal ini.
ReplyDeleteKe pasar, hal paling menyenangkan memang melihat orang2 tersebut beraktivitas. Setiap cerita akan mengundang foto, setiap foto akan bercerita bila angle pengambilannya tepat :)
tfs ambu, aku jadi pingin ke pasar liat foto2 ini :D
Waah, kenapa saya tidak pernah memikirkannya nih mbak. Padahal tiap hari minggu saya ke pasar. Buat bahan tulisan kan bagus juga ya mbak.
ReplyDeleteSeru banget pengalamannya mba, btw aku masih kurang pede jika mau motret di pasar padahal banyak objek menarik dan sarat pesan kehidupan di situ. Bagi tipsnya dong mba?
ReplyDeleteMotret dengan tema human interest memang mengasikkan ya Mbak. Apalagi jika bisa kita lakukan secara candid. Jadi ekspresi yang kita dapatkan bisa natural bahkan bisa jadi sangat unik dan istimewa untuk dilihat.
ReplyDeletewah asik juga ya mbak, belanja sambil foto foto, aku jarang ke pasar tradisional, karena belanjanya di abang sayur depan kompleks
ReplyDelete