Seekor
kupu-kupu perlahan mengepak sayapnya. Menyeruak
diantara desah kelopak bunga Oleander . Menari dalam kemurungan angin
kemarau. Dan bersenandung lirih hingga
sosok yang kutunggu itu muncul. Masih dengan kerudung yang kemarin
dikenakannya. Kerudung broken white
dengan lukisan bunga diujungnya.
Ujung
gamis hitamnya berkelebat diantara debu jalanan. Langkahnya mantap mengarah ke
onggokan batu di kelokan jalan. Disekanya, dan sosok itu duduk. Melayangkan
pandangan ke arah perumahan mewah di depannya.
Seolah sedang menunggu kekasih.
Sosok
itu, Adisa. Dan dia bukan sedang
menunggu seorang kekasih, tapi anak kandungnya. Anak perempuan satu-satunya.
Anak bungsu bernama Firdha. Karena suatu
kondisi yang mengerikan, kedua ibu dan anak itu harus berpisah. Firdha bersama
kakak ipar Adisa, seorang perempuan berumur 55 tahun yang belum menikah. Entah
mengapa ketika sang kakak menderita kanker stadium lanjut, suami Adisa
menginstruksikan anak perempuannya menemani. Instruksi yang bodoh, bagaimana
mungkin seorang anak perempuan berusia 15 tahun dipisahkan dari ibu kandungnya?
Terlebih kutahu sang kakak sangat tidak menyukai Adisa.
***
Kejadian
sore itu tak pernah kulupa. Sore yang muram ketika Adisa menyerbu masuk rumah.
Tangannya gemetar, air mata merebak di pelupuk matanya. Bibirnya bergetar
hebat. Entah kata apa yang diucapkan. Kupeluk tubuhnya yang menggigil marah.
Beruntung aku ingat kebiasaan seorang
muslim untuk istigfar dan salat ketika mengalami musibah. Kubisikkan kedua
alternatif ibadah itu hingga perlahan Adisa mulai istigfar dan kemudian salat.
Apa
yang membuat Adisa begitu marah? Rupanya
apa yang kutakutkan terjadi. Anak kandung sekalipun tetaplah mahluk lemah,
tidak seharusnya dia hidup dengan orang yang tidak menyukai ibu kandungnya. Karena batu cadas yang berulang-ulang terkena
tetesan air akhirnya akan berlubang.
Dan itulah
yang terjadi pada mereka. Adisa sedang
berjalan perlahan menapaki conblock menuju rumahnya ketika dari jauh dilihatnya mobil Firdha anak perempuan kesayangannya.
Kedua kakak ipar berkerumun disekeliling mobil. Juga suami Adisa.
“Firdha,
aduh mama kangennnnn……, cium nak”.
Tubuh
Firdha menegang, seolah enggan dicium, seolah membenci situasi ketika kedua
pipinya dicium sang mama. Didepan banyak orang. Kejadian selanjutnya bisa
diduga. Dengan tidak sabar, uwaknya,
kakak ipar Adisa mengajak Firdha pulang.
“Yuk
Firdha pulang”.
Dua
buah pintu menutup keras di depan wajah Adisa. Tapi bukan itu yang membuatnya gusar.
Setelah membanting pintu, sang kakak ipar berujar keras:
“Ih,
Firdha bau ih”.
Tidak
hanya itu, kakak ipar Adisa lainnya ikut menimpali. Mengolok-olok Firdha yang
dicium ibu kandungnya.
“Iya,
ih Firdha bau. Hiyyy….. Firdha bau”.
Suami
Adisa hanya diam melihat tragedy itu. hingga Adisa tak tahan dan berteriak
sebelum city car yang dikendarai
Firdha melaju pergi.
“Firdha,
yang mencium kedua pipimu adalah ibu kandungmu. Yang melahirkan dan menyusuimu.
Yang menyuci darah mens pertamamu”.
Sayang,
bak kerasukan setan kakak ipar Adisa lainnya justru memarahi Adisa dengan
kata-kata pedas. Dan suami Adisa hanya diam, seolah dilucuti kelakiannya.
Kejadian
itu ternyata berbuntut panjang. Firdha enggan mengangkat telepon Adisa dan SMS
dari Adisa tak pernah berbalas. Membuat hati Adisa hancur berkeping-keping. Bak
jatuh dalam jurang tak bertepi. Setiap malam dia menangis dalam doa hingga
kepiluan yang mengiris – iris sekujur tubuhnya mereda.
Akhirnya
Adisa mengambil keputusan tak masuk akal itu. Disetiap waktu kosongnya, dia
berjalan mendaki menuju hunian anak gadisnya. Sekedar ingin melihat kelebatan
bidadarinya. Ah hati seorang ibu. Masih belum terhapus dalam ingatan ketika
Firdha kecil sakit dan berulang kali Adisa meneleponku sambil tersedu. Adisa
begitu ketakutan malaikat kecilnya pergi untuk
selamanya. Dan sosok yang disukai untuk melepas ketakutan rupanya aku. Drop
out fakultas kedokteran yang dianggap Adisa pastilah memahami fakta penyakit. Adisa yang malang.
***
Tiba-tiba
Adisa berdiri dari duduknya. Mulutnya terbuka. Tanpa suara. Hanya
tercekat melihat sedan merah Firdha
melewati gapura dan melaju pergi. Meninggalkan kepulan debu. Menerbangkan kelopak – kelopak bunga Oleander
yang gugur bersama hilangnya harapan bertemu anak kesayangan.
…..
tergesa aku keluar dari taksi yang kusewa agar Adisa tak mengenaliku.
“Dis,
Adisa …………….”.
Rupanya
Adisa tak mendengar panggilanku. Kedua tangannya memegang lututnya. seolah terpekur dalam posisi berdiri. Tapi
kutahu, dia sedang meredam tangis. Ah, Adisa dalam keadaan seperti itupun kau
mencoba menahan tangismu.
***
Jujur,
aku membenci situasi ini. situasi ketika
ingin menolong tapi tak tahu harus berbuat apa. Sedih, tapi tidak mampu
mengusir kesedihan. Marah tapi tidak bisa meluapkan kemarahan. Aku sangat
menyayangi Adisa dan ingin berbuat yang terbaik baginya, seperti selama ini
sahabatku yang ringkih itu selalu membuka pintu hatinya untukku.
Kucari
Adisa, ternyata dia disana. Duduk di teras belakang. Memandang taman yang tak
pernah selesai dibenahi suamiku. Tapi aku tahu, pikirannya menembus tembok
penuh tanaman gantung. Perlahan kusimpan
cangkir berisi teh panas. Kusentuh cangkir kopinya. Dingin tapi masih penuh.
Belum diminum.
“Dis,
hingga kapan? Kau harus bisa mengambil keputusan. Tidak benar selalu berdiri
menunggu hanya sekedar ingin melihat sosok anak gadismu”.
Adisa
diam. Tidak menjawab.
“Hei
Dis, kau dengar akukah?”tanyaku dengan suara keras.
Perlahan
Adisa mengalihkan pandang nya. Seolah enggan. Seolah ada pertunjukkan seru di tembok
yang ditinggalkannya.
“Kau
dengar aku? Besok kuantar ke rumah kakak iparmu. Emang siapa sih dia? Raja?
Presiden? Kok kamu takut kesana hanya untuk bertemu anakmu? Kau punya hak untuk
melepas rindu dan rasa sayang.”
Adisa
menatapku. Pandangannya penuh keheranan. Seolah mendengar kata-kata tak waras.
Hei, siapa yang waras dan siapa yang gila? Aku mulai tak sabar.
Perlahan
Adisa menggeleng.
“Kau
ingat kisah dua orang ibu yang
memperebutkan seorang bayi? Kedua ibu ngotot mengakui bahwa bayi itu adalah
bayinya, tidak ada yang mau mengalah. Hingga mereka datang ke nabi Sulaeman
yang mengambil keputusan akan membelah si bayi sama besar agar adil. Ibu kandung sang bayi menolak bayinya dibagi
dua. Lebih baik dia hidup merana ditinggalkan anaknya, asalkan anak yang
disayanginya tetap hidup”.
“Gila.
Itu hanya kisah Dis. Jaman Sulaeman. Ini jaman millennium, jaman serat optik
bukan jaman batu. Sadar dong, Dis!!”
“Tapi
kisah itu relevan disetiap jaman, Mik. Firdha pernah tinggal dalam rahimku. Makan
bersama, bersenandung bersama, belajar mengaji bersama. Bahkan setelah lahir,
Firdhalah anakku yang paling lama kususui.
Sejak
kecil Firdha selalu terombang ambing antara dua. Aku dan kakak iparku. Pernah
dulu, semasa Firdha masih berusia 8 tahun, satu tangan Firdha kupegang untuk
kuajak bersama aku, ayah dan kakak-kakaknya, tangan satunya lagi dipegang kakak
iparku. Dia kebingungan, kasihan sekali”.
“Dan
kaupikir, dengan egoisnya aku akan menarik tangan itu agar tubuh kecilnya bisa
kupeluk erat tanpa seorangpun mengganggu?
Mungkin bisa jika suasana berbeda, tapi hati Firdha pastilah akan merasa
bersalah meninggalkan kakak iparku yang sakit”, lanjut Adisa.
“Maksudku
bukan meninggalkan, tapi jangan takut untuk menemuimu”.
Untuk
sesaat Adisa terpana, seolah sadar ada solusi lain. Sayang, tak lama kemudian
dia menggeleng.
“Kau
tak tahu sifat kakak iparku. Jika solusinya semudah itu, aku tak akan merana
seperti ini. Semua tampak tak benar dimata kakak iparku”.
“Maaf
Mikha, aku merepotkanmu ya? Maaf. Aku
berjanji tak akan melakukan perbuatan bodoh lagi. Tapi percayalah, Firdhaku gadis yang pandai.
Anak yang soleh. Aku selalu percaya padanya. Mungkin sekarang dia hanya sedang
marah. Maafkan aku ya Mik?”
Oh
Tuhan, bagaimana mungkin aku tak mengangguk mendengar permintaan Adisa. Memandang matanya yang berkilau dan
menampakkan kerutan senja.
Ah,
Adisa kalaulah aku bisa seyakin itu? Bahwa suatu saat Firdha akan sadar, karena
seperti yang tertulis dalam kalam Illahi yang kau miliki:
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata,
“Seseorang datang kepada
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah
aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali
bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali,
‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’
Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi
wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.'” (HR. Bukhari no. 5971 dan
Muslim no. 2548)
Karena
ridho Allah SWT adalah ridho ibu, katamu. Tanpa sadar air mataku menetes. Ah,
siapakah yang lemah?
Sumber:
No comments
Terimakasih sudah berkunjung dan memberi komentar
Mohon menggunakan akun Google ya, agar tidak berpotensi broken link
Salam hangat