Rumah sepi. Hanya
sayup-sayup terdengar suara burung gereja bersenda gurau. Nun di atas pohon di seberang rumah. Aku sungguh
beruntung memiliki rumah berhadapan
dengan batas wilayah. Suatu lembah dimana terletak pemukiman warga lama. Ada
saluran air disana, menganak sungai , mengingatkanku pada kota kecil tempat aku
dan Adisa dulu tinggal.
Ah, Adisa dimana dia? Baru
beberapa langkah mencarinya , kulihat dia di teras belakang. Asyik membuang ekor taoge dan memasukkannya
dalam wadah kedap udara. Posisinya membuat aku gatal ingin mengagetkan dari
belakang. Seperti kebiasaan kami dulu. Tapi secarik kertas yang kugenggam
mengalahkan keinginan itu.
“Dis, kau tahu ini?
kupon daging?”
“Oh, kau dapat juga? Iya, setiap keluarga di perumahan
dapat kupon pembagian daging kurban. Kukira kau belum dapat, kan warga baru”. Wajah Adisa tenang, tidak menampakkan
keterkejutan melihat kedatanganku.
“Lumayan banyak dagingnya,
tapi nyampur dengan jeroan. Sekali- sekali makan tongseng atau soto jeroan kan
ngga papa? ”, lanjut Adisa sambil tersenyum.
Akhir-akhir ini aku
memang menghindari daging , gula dan lebih banyak mengonsumsi sayuran. Bukan diet, hanya sekedar ingin sehat. Karena
itulah kemarin aku membeli banyak taoge yang kini sedang dibersihkan Adisa. “Jorok”, katanya melihatku
yang malas membersihkan ekor taoge.
Karena aku bersikukuh
enggan, akhirnya Adisa mengalah membersihkan taoge dalam beberapa tahapan.
Tergantung waktu kosong. Lama aku menatap kegiatan Adisa yang nampak
mengasyikkan.
“Dis, pernah nggak kepikir
adanya persamaan sekaligus perbedaan
dalam agama kita? Kita sama-sama percaya
bahwa nabi Ibrahim mengorbankan anaknya untuk Tuhan. Bedanya dalam agamaku, Khatolik yang dikorbankan Ishaq,
dalam Islam yang dikorbankan Ismail. Apa karena akhirnya nanti Nabi Ismail
menurunkan Nabi Muhamad, sedangkan Ishaq menurunkan Yesus, eh Nabi
Isa?”
Adisa tercenung.. Hampir
kupikir pertanyaanku tak akan dijawabnya, ketika tiba-tiba:
“Kupikir ngga
sesederhana itu, Mik. Setiap peristiwa kenabian kan merupakan simbol-simbol. Jadi
jangan dimaknai secara harfiah. Tuhan memang memberi instruksi agar nabiNya
berkorban. Entah Ishaq atau Ismail menjadi tak penting karena pengertian
berkorban ngga sekedar potong kambing dan sapi”.
“Maksudmu?”
“Iya , buat apa
berkorban sapi jika ngga mau berkorban dalam kehidupan sehari-hari. Ngantri
misalnya, kan berkorban waktu dengan menghargai orang lain datang yang lebih dulu. Juga berkurban lainnya
seperti ngga saling nyrobot di jalan raya. Hasil akhirnya menyenangkan , tapi
harus ada pengorbanan dulu dari setiap orang”.
“Ah, aku ingat pernah membaca di Kompasiana
tentang perilaku commuter yang enggan memberikan tempat duduk pada perempuan
tua dan perempuan hamil. Cewek yang masih muda dan sehat malah main ponsel.
Walau kupikir laki-laki muda juga banyak”.
“Iya, berkorban seperti
itu yang seharusnya kita lakukan. Memotong hewan korban bagi yang mampu memang
sesuai syariat agama, tapi yang terpenting implementasi berkurban dalam tindak tanduk kita sehari-hari”.
“Lha, kamu kok jadi
pinter, Dis?”
“Hehehe, itu bukan hasil
pemikiranku kok. Itu murni penjelasan ustazku di pengajian, dr Tauhid Nur
Azhar”.
Oalah Adisa, hampir
kutimpuk dia yang malah tertawa cengengesan. Tapi siapapun pemberi penjelasan
esensi berkorban, aku harus mengakui bahwa berkorban di era millennium ini harus ada pendalaman arti. Agar tidak dihakimi masa seperti kasus Florence Sihombing yang memaki-maki Jogjakarta hanya gara-gara antrian
di SPBU.
Tiba-tiba aku ingat
sesuatu.
“Dis, sebetulnya ada
pengorbanan yang lebih nyata. Bahkan udah kamu lakoni, ngga minum dari gelas
plastik misalnya. Trus bawa tumbler sebagai konsekuensi. Juga bawa wadah untuk beli
makanan matang. Aku udah lama pingin menolak barang sekali pakai, tapi dilematisnya
di kondangan yang hanya ada alas
makan styrofoam. Mau makan, kok nyampah. Ngga makan kok kelihatannya makanannya
enak banget”.
“Tergantung tempatnya.
Aku sering pinjam gelas atau piring kaca jika acaranya di rumah. Kalo perlu
cuci piring sendiri sesudahnya biar nggak ngerepotin”. Jawab Adisa sambil
memasukkan taoge yang sudah disiangi ke dalam wadah kedap udara, dan
memasukkannya ke lemari es.
Hmmm …… benar juga dia.
Lumayan ternyata hasil berguru Adisa dari pengajian ke pengajian. Lebih lumayan
lagi karena sepulang dari pengajian Adisa kerap membawa oleh-oleh kue yang kusuka.
Tanpa sadar aku
tersenyum, ……… ah indahnya persahabatan.
Ada satu lagi pertanyaan yang sangat ingin kutanyakan pada Adisa yaitu tentang
gerakan massif suatu kelompok untuk mengislamkan. Mereka bertekad satu hari
harus berhasil mengislamkan 4 orang. Tapi nampaknya pertanyaan ini harus
kusimpan karena adzan memanggil Adisa untuk menunaikan salat Magrib.
Sumber : kompasiana.com
No comments
Terimakasih sudah berkunjung dan memberi komentar
Mohon menggunakan akun Google ya, agar tidak berpotensi broken link
Salam hangat