Neneng Dan Pak Hakim

sumber : http://pixabay.com/en/photos/kupu-kupu/


Sepasang kupu-kupu berpagutan diatas rimbunnya bunga daisy yang bermekaran. Sayap mereka berkepak amat kerap. Seolah mewartakan gejolak asmara yang enggan terganggu kawanannya. Semua menjauh, menyisakan kilauan putih diantara warna kuning daisy.

Neneng menghentikan langkah. Dengan nanar dipandanginya sejoli kupu-kupu yang sedang dimabuk cinta. Gerak tangannya terhenti diudara, urung menyunting bunga daisy dan mengganggu kupu-kupu yang berasyik masyuk. Dilemparkannya pandangan pada tujuan akhir jalan setapak menuju kantor Kecamatan. Huffhhhh ……… terasa panjang dan tak kunjung terlampaui. Padahal dulu hanya dalam kurun waktu sepuluh menit, dia sudah sampai. Berlari cepat adalah kegemarannya.

Neneng tersenyum, disibaknya anak rambut yang mulai bersimbah peluh. Pipinya yang putih licin kini memerah.  Nafasnya tersengal. Dia menarik nafas panjang dan menghembuskan kembali. Berulang-ulang, sesuai petunjuk bu bidan. Ah, sosok mungil  dalam rahimnya bergerak dan menendang kulit perut. Penuh rasa sayang, Neneng mengelus perutnya, tersenyum kembali dan berbisik: “Sabar ya nak, sebentar lagi sampai.”

Bu Hindun, orang pertama yang ingin dijumpainya. Perempuan setengah baya ini dikenalnya semenjak dia masih duduk di kelas satu SD. Bertubuh subur, bu Hindun adalah orang paling pede yang dikenalnya. Pakaiannya kerap berwarna-warni, ngejreng menyiratkan kepribadiannya yang hangat. Dia tidak hanya pengurus PKK aktif tetapi juga penanggung jawab koperasi, tempat ibunya menitipkan kue-kue hasil buatan sendiri.

“Eh Neng geulis, sini Neng. Tunggu sebentar ya, ibu hitung sisa dagangan. Hari ini nggak ada yang bantu ibu, Neng. Kebetulan semua ada urusan. Padahal yang setor makanan banyak, yang belanja juga banyak. Maklum ada pertemuan. Wah, tapi lumayan Neng, kayanya mah dagangan ibu kamu laris. Sisa sedikit, tapi biasa. Ada aja sisa mah. Segitu mah dianggap laris. Apalagi kue buatan ibu kamu terkenal enak. Beneran, orang-orang sini pada bilang begitu. Enak ceunah,” ujar ibu Hindun berentet bagai senapan multi shot.

Neneng tersenyum. Enggan mengganggu ibu Hindun menghitung uang dan sisa barang dagangan, Neneng beranjak menuju ruang tamu kantor Kecamatan. Ruang itu cukup luas dengan dua perangkat kursi duduk tamu, sehingga dia bisa mengistirahatkan kakinya yang pegal.

Pada perangkat kursi duduk yang lain dilihatnya pak Wawan sedang membaca surat kabar harian. Setahu Neneng, pak Wawan salah satu kepala bagian di kantor Kecamatan. Entah apa jabatannya, Neneng tidak tahu dan tidak begitu peduli.

Gelo, aya hakim ngomong kieu!!??” seru pak Wawan tiba-tiba dengan gusar.

Aya naon pak Wawan? Ulah nyingsieunan kitu, atuh, “tegur ibu Ina, petugas KTP yang melintas.

“Atuda keterlaluan, masa ada hakim bilang bahwa pelaku pemerkosaan dan korban pemerkosaan sama-sama enak. Jadi dia tidak setuju hukuman mati.”jelas pak Wawan.

Blapppppp………… bagai awan hitam menerpa, ingatan kelam itu datang kembali. Ingatan ketika dengan riangnya dia tersenyum-senyum menuju perjalanan pulang ke rumah. Mentari sudah berangkat keperaduan, gelap menjemput. Suara katak bersahutan mewartakan keberadaan mereka. Neneng memeluk erat bungkusan berisi sepatu baru. Terbayang olehnya sepatu olah raga yang akan dikenakannya besok. Agak kebesaran sedikit, tapi itu hasil maksimal yang didapatnya sesudah berkeliling toko. Harganya harus murah karena uang yang diberi ibunya tidaklah banyak. Hasil menyisihkan sedikit keuntungan penjualan kue. Tapi modelnya haruslah bagus, harus mirip sepatu milik Asti, selebriti di sekolahnya yang kemarin katanya diwawancara dan mejeng di surat kabar harian setempat. Duh, dia ingin seperti Asti. Cantik, pintar dan keren.

Bug!!! Entah mengapa, tiba-tiba dia terjatuh dan tangan-tangan besar menyebu, menutup mata, merajam badan dan mengoyak bajunya. Perlawanan kecilnya bak kupu-kupu ringkih yang masuk jala raksasa. Tamparan demi tamparan keras terasa mengenai pipi mulusnya. Sakit bukan kepalang. Kepalanya terasa melayang meninggalkan bumi dan …… brug!! … sesuatu yang besar mengenai tubuhnya. Bongkahan batukah? Entahlah, ingatan yang tersisa adalah rasa sakit tak terperi. Rasa sakit tak berujung. Rasa sakit yang ingin dia hentikan, tapi tak mampu.

“Neng, neng geulis……… bangun neng, aduh kenapa tadi teh ibu ngebiarin kamu sendirian,”
“Aduh, punten ya neng …………aduh, kumaha ieu?”

Sayup-sayup didengarnya ibu Hindun dengan mitraliur kata-katanya. Juga harum minyak kayu putih yang disapukan di pelipis dan bawah hidungnya. Dengan perlahan Neneng bangun tanpa mengindahkan larangan ibu Hindun dan karyawan kecamatan lain. Rupanya dia dibaringkan pada sofa panjang.

Dengan susah payah diingatnya mengapa dia terbaring dan mengapa bu Hindun meratap. Mungkinkah dia pingsan?  Kepalanya berdentum, tanpa jawaban. Secangkir teh disorongkan padanya, “Minum Neng, ini teh hangat, supaya badan Neneng enakan dan bayinya sehat.”

Neneng memandang penyodor secangkir teh hangat yang baik hati tersebut. Ternyata pak Wawan.

“Pak, kok Neneng ada disini?”

“Kan tadi Neneng pingsan.”

Neneng tercekat. Ingatan pada pak Wawan sebelum pingsan menyerbunya. Ingatan kesakitan membuat kepalanya dipenuhi simpul-simpul aliran menuju titik didih. Wajah ayunya berubah garang, penuh kepedihan

“Pak, Neneng tahu, Neneng ngga boleh nyumpahin orang. Tapi kali ini Neneng pingin nyumpahin hakim itu.
 Semoga dia punya anak perempuan yang masih sekolah seperti Neneng. Dan semoga anak itu diperkosa,”

“Ampunnnnnn, Nenengggggg,…………… nggak boleh begitu,” bagai paduan suara, serempak isi kantor melarangnya. Tapi tanpa terasa air mata mereka mengalir. Bak tersayat sembilu, hati mereka ikut tersakiti.
Mereka kenal Neneng sejak balita hingga diusianya yang ke 14. Mereka tahu perutnya membulat akibat perkosaan brutal 7 bulan silam. Ah, bahkan hukuman mati bagi si pelakupun tak mampu mengembalikan keceriaannya. Tak mampu menghapus ingatan buruk yang sering mengunjungi malam demi malam.

Dan Bapak Hakim Daming yang terhormat bercanda bahwa si pemerkosa dan korban perkosaan sama-sama menikmati? Mungkin Sang Bapak Hakim sudah kehilangan hati nurani. Atau bahkan mungkin semenjak awal dia  tidak punya hati nurani sehingga mampu berkata sesadis itu.

Terjemahan Bahasa Sunda:
Geulis = cantik
Ceunah = katanya
Gelo, aya hakim ngomong kieu = Gila, ada hakim ngomong begini?
Aya naon pak Wawan? Ulah nyingsieunan kitu, atuh = Ada apa pak Wawan? Jangan menaku-nakuti begitu dong.
Punten = maaf
Kumaha ieu = bagaimana ini

No comments